Selasa malam (1 Februari 2005), Setelah hujan lebat
mengguyur Jakarta, gerimis masih turun. Saya pacu motor dengan cepat
dari kantor disekitar Blok-M menuju rumah di Cimanggis-Depok. Kerja
penuh seharian membuat saya amat lelah hingga di sekitar daerah
Cijantung mata saya sudah benar-benar tidak bisa dibuka lagi. Saya
kehilangan konsentrasi dan membuat saya menghentikan motor dan melepas
kepenatan di sebuah shelter bis di seberang Mal Cijantung. Saya lihat
jam sudah menunjukan pukul 10.25 malam.
Keadaan jalan sudah
lumayan sepi. Saya telpon isteri saya kalau saya mungkin agak terlambat
dan saya katakan alasan saya berhenti sejenak.
Setelah saya
selesai menelpon baru saya menyadari kalau disebelah saya ada seorang
ibu muda memeluk seorang anak lelaki kecil berusia sekitar 2 tahun.
Tampak jelas sekali mereka kedinginan. Saya terus memperhatikannya dan
tanpa terasa airmata saya berlinang dan teringat anak saya (Naufal)
yang baru berusia 14 bulan. Pikiran saya terbawa dan berandai-andai,
"Bagaimana jadinya jika yang berada disitu adalah isteri dan anak saya?”
Tanpa
berlama-lama saya dekati mereka dan saya berusaha menyapanya. ”
Ibu,ibu,kalau mau ibu boleh ambil jaket saya, mungkin sedikit kotor
tapi masih kering. Paling tidak anak ibu tidak kedinginan” Saya segera
membuka raincoat dan jaket saya, dan langsung saya berikan jaket saya.
Tanpa
bicara, ibu tersebut tidak menolak dan langsung meraih jaket saya. Pada
saat itu saya baru sadar bahwa anak lelakinya benar-benar kedinginan
dan giginya bergemeletuk.
"Tunggu sebentar disini bu!” pinta
saya. Saya lari ke tukang jamu yang tidak jauh dari shelter itu dan
saya meminta air putih hangat padanya. an Alhamdulillah, saya justeru
mendapatkan teh manis hangat dari tukang jamu tersebut dan segera saya
kembali memberikannya kepada ibu tersebut. "Ini bu,.. kasih ke anak
ibu!” selanjutnya mereka meminumnya berdua.
Saya tunggu sejenak
sampai mereka selesai. Saya hanya diam memandangi lalu lalang kendaraan
yang lewat "Bapak, terima kasih banyak, mau menolong saya” sesaat
kemudian ibu tersebut membuka percakapan. Ah, tidak apa-apa,
ngomong-ngomong ibu pulang kemana? Tanya saya Saya tinggal di daerah
Bintaro tapi…(dia menghentikan bicaranya),
Bapak pulang bekerja ? dia
balas bertanya.
"Ya” jawab saya singkat.
"Kenapa sampai
larut malam pak, memangnya anak isteri bapak tidak menunggu? Tanyanya
lagi. Saya diam sejenak karena agak terkejut dengan pertanyaannya.
"Terus
terang bu, sebenarnya selama ini saya merasa bersalah karena terlalu
sering meninggalkan mereka berdua. Tapi mau bilang apa, masa depan
mereka adalah bagian dari tanggung jawab saya. Saya hanya berharap
semoga Allah terus menjaga mereka ketika saya pergi.” Mendengar jawaban
saya si ibu terisak, saya jadi serba salah. "Bu, maafkan saya kalau
saya salah omong.
Pak kalau boleh saya minta uang seratus ribu,
kalau bapak berkenan? Pintanya dengan sedih dan sopan. Airmatanya
berlinang sambil mengencangkan pelukan ke anak lelakinya.
Karena
perasaan bersalah, saya segera keluarkan uang limapuluh-ribuan 2 lembar
dan saya berikan padanya. Dia berusaha meraih dan ingin mencium tangan
saya, tetapi cepat-cepat saya lepaskan. "ya sudah, ibu ambil saja,
tidak usah dipikirkan!” saya berusaha menjelaskannya. "Pak kalau jas
hujannya saya pakai bagaimana? Badan saya juga benar-benar kedinginan
dan kasihan anak saya” kembali ibu tersebut bertanya dan sekarang
membuat saya heran. Saya bingung untuk menjawabnya dan juga ragu
memberikannya. Pikiran saya mulai bertanya-tanya, Apakah ibu ini
berusaha memeras saya dengan apa yang ditampilkannya di hadapan saya?
tapi saya entah mengapa saya benar-benar harus meng-ikhlas- kannya.
Maka saya berikan raincoat saya dan kali ini saya hanya tersenyum tidak
berkata sepatahpun.
Tiba tiba anaknya menangis dan semakin lama
semakin kencang. Ibu tersebut sangat berusaha menghiburnya dan saya
benar-benar bingung sekarang harus berbuat apa? Saya keluarkan
handphone saya dan saya pinjamkan pada anak tersebut. Dia sedikit
terhibur dengan handphone tersebut, mungkin karena lampunya yang
menyala. Saya biarkan ibu tersebut menghibur anaknya memainkan
handphone saya. Sementara itu saya berjalan agak menjauh dari mereka.
Badan dan pikiran yang sudah lelah membuat saya benar-benar kembali
tidak dapat berkonsentrasi. Mungkin sekitar 10 menit saya hanya diam di
shelter tersebut memandangi lalu lalang kendaraan. Kemudian saya
putuskan untuk segera pulang dan meninggalkan ibu dan anaknya tersebut.
Saya ambil helm dan saya nyalakan motor, saya pamit dan memohon maaf
kalau tidak bisa menemaninya. Saya jelaskan kalau isteri dan anak saya
sudah menunggu dirumah. Ibu itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih
kepada saya.
Dia meminta no telpon rumah saya dan saya tidak
menjawabnya, saya benar-benar lelah sekali dan saya berikan saja kartu
nama saya. Sesaat kemudian saya lanjutkan perjalanan saya.
Saya
hanya diam dan konsentrasi pada jalan yang saya lalui. Udara
benar-benar terasa dingin apalagi saat itu saya tidak lagi mengenakan
jaket dan raincoat ditambah gerimis kecil sepanjang jalan. Dan ketika
sampai di depan garasi dan saya ingin menelpon memberitahukan ke isteri
saya kalau saya sudah di depan rumah saya baru sadar kalau handphone
saya tertinggal dan masih berada di tangan anak tadi. Saya benar-benar
kesal dengan kebodohan saya. Sampai di dalam rumah saya berusaha
menghubungi nomor handphone saya tapi hanya terdengar nada handphone
dimatikan. "Gila.Saya benar-benar goblok, tidak lebih dari 30 menit
saya kehilangan handphone dan semua didalamnya” dengan suara tinggi,
saya katakan itu kepada isteri saya dan dia agak tekejut mendengarnya.
Selanjutnya saya ceritakan pengalaman saya kepadanya. Isteri saya
berusaha menghibur saya dan mengajak saya agar meng-ikhlaskan semuanya.
"Mungkin Allah memang menggariskan jalan seperti ini. Sudahlah sana
mandi dan shalat dulu, kalau perlu tambah shalat shunah-nya biar bisa
lebih ikhlas” dia menjelaskan. Saya segera melakukannya dan tidur.
Keesokan
paginya saya terpaksa berangkat kerja membawa mobil padahal hal ini,
tidak terlalu saya suka. Saya selalu merasa banyak waktu terbuang jika
bekerja membawa mobil ketimbang naik motor yang bisa lebih cepat
mengatasi kemacetan. Kalaupun saya bawa motor saya khawatir hujan
karena kebetulan saya tidak ada cadangan jaket dan raincoat juga sudah
saya berikan kepada ibu dan anak tadi malam. Setelah mengantar isteri
yang kerja di salah satu bank swasta di sekitar depok saya langsung
menuju kantor tetapi pikiran saya terus melanglang buana terhadap
kejadian tadi malam. Saya belum benar-benar meng-ikhlaskan kejadian
tadi malam bahkan sesekali saya mengumpat dan mencaci ibu dan anak
tersebut didalam hati karena telah menipu saya.
Sampai di kantor,
saya kaget melihat sebuah bungkusan besar diselimuti kertas kado dan
pita berada di atas meja kerja saya. Saya tanya ke office boy, siapa
yang mengantar barang tersebut. Dia hanya menjawab dengan tersenyum
kalau yang mengantar adalah supirnya ibu yang tadi malam, katanya bapak
kenal dengannya setelah pertemuan semalam bahkan dia menambahkan
kelihatannya dari orang berada karena mobilnya mercy yang bagus.
"Bapak
selingkuh ya, pagi-pagi sudah dapat hadiah dari perempuan? tanyanya
sedikit bercanda kepada saya. Saya hanya tersenyum dan saya menanyakan
apakah dia ingat plat nomor mobil orang tersebut, office boy tersebut
hanya menggelengkan kepala..
Segera saya buka kotak tersebut dan
"Ya Allah, semua milik saya kembali. Jaket, raincoat, handphone, kartu
nama dan uangnya. Yang membuat saya terkejut adalah uang yang
dikembalikan sebesar 2 juta rupiah jauh melebihi uang yang saya berikan
kepadanya. Dan juga selembar kertas yang tertulis ;
” Pak, terima
kasih banyak atas pertolongannya tadi malam. Ini saya kembalikan semua
yang saya pinjam dan maafkan jika saya tidak sopan. Kemarin saya sudah
tidak tahan dan mencoba lari dari rumah setelah saya bertengkar hebat
dengan suami saya karena beliau sering terlambat pulang ke rumah dengan
alasan pekerjaan. Bodohnya, dompet saya hilang setelah saya
berjalan-jalan dengan anak saya di Mall Cijantung. Sebenarnya saya
semalam ingin melanjutkan perjalanan ke rumah kakak saya di depok,
tetapi saya jadi bingung karena tidak ada lagi uang untuk ongkos
makanya saya hanya berdiam di hate bis itu. Setelah saya bertemu dan
melihat bapak tadi malam, saya baru menyadari bahwa apa yang suami saya
lakukan adalah demi cinta dan masa depan isteri dan anaknya juga. Salam
dari suami saya untuk bapak. Salam juga dari kami sekeluarga untuk
anak-isteri bapak di rumah. Suami saya berharap, biarlah bapak tidak
mengetahui identitas kami dan biarlah menjadi pelajaran kami berdua .
Oh ya, maaf handphone bapak terbawa dan saya juga lupa mengembalikannya
tadi malam karena saya sedang larut dalam kesedihan. Terima kasih.
Segera saya telpon isteri saya dan saya ceritakan semua yang ada
dihadapan saya. Isteri saya merasa bersyukur dan meminta agar semua
uangnya diserahkan saja ke mesjid terdekat sebagai amal ibadah keluarga
tersebut.